true DEMOKRASI LIBERAL

Perkembangan ekonomi pada masa demokrasi liberal/parlementer 1950-1959,



Pada masa Demokrasi Parlementer, bangsa Indonesia menghadapi permasalahan ekonomi, mencakup permasalahan jangka pendek dan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi saat itu adalah tingginya jumlah uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Sementara, permasalahan jangka panjangnya, yakni jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Untuk memperbaiki kondisi ekonomi, pemerintah melakukan berbagai upaya, yaitu: 
  1. Gunting Syafruddin
  2. Sistem ekonomi Gerakan Benteng Nasionalisasi 
  3. perusahaan asing 
  4. Finansial ekonomi (Finek) 
  5. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT).

Pada masa Demokrasi Parlementer Perkembangan ekonomi negara mengalami banyak tantangan. Sistem pemerintahan yang tidak stabil, seringnya pergantian kabinet, serta konflik politik internal menyebabkan perekonomian sulit berkembang secara signifikan. 

1. Ketidakstabilan Politik

  • Pada masa Demokrasi Liberal, terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali dalam rentang sembilan tahun. Kabinet yang sering berganti-ganti menyebabkan kebijakan ekonomi yang direncanakan tidak dapat dijalankan secara konsisten.
  • Setiap kabinet memiliki program yang berbeda-beda, sehingga kebijakan ekonomi sering kali terputus atau tidak berkelanjutan.

2. Program Kabinet yang Berbeda-Beda

  • Kabinet Natsir (1950-1951) mencoba membangun ekonomi dengan memperkuat sektor swasta, terutama melalui perdagangan dan industri, namun kebijakan ini terhambat oleh masalah-masalah politik.
  • Kabinet Sukiman (1951-1952) berfokus pada hubungan ekonomi luar negeri, tetapi dihadapkan pada situasi politik yang tidak kondusif.
  • Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) memperkenalkan Rencana Pembangunan Lima Tahun, tetapi hanya berjalan sebagian kecil karena masa jabatannya yang singkat.

3. Rencana Pembangunan Lima Tahun

  • Pada tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II memperkenalkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960). Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan sektor pertanian, industri, dan infrastruktur. Namun, implementasi rencana tersebut terganggu oleh ketidakstabilan politik dan masalah anggaran.
  • Sementara itu, nasionalisasi beberapa perusahaan Belanda mulai dijalankan sebagai bagian dari kebijakan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada kekuatan asing.

4. Ketergantungan pada Ekspor Komoditas Primer

  • Ekonomi Indonesia pada masa itu masih bergantung pada ekspor komoditas primer seperti karet, minyak bumi, timah, dan kopi. Penurunan harga komoditas di pasar dunia, terutama karet pada awal 1950-an, menyebabkan pendapatan negara menurun drastis.
  • Pemerintah kesulitan untuk mendiversifikasi ekonomi karena keterbatasan teknologi, sumber daya manusia, dan modal.

5. Inflasi dan Defisit Anggaran

  • Ketidakstabilan ekonomi diperparah oleh inflasi yang tinggi, terutama akibat peningkatan pengeluaran negara yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup. Banyak proyek pembangunan yang terhenti karena kekurangan dana.
  • Defisit anggaran semakin membesar karena biaya operasional negara yang tinggi serta pengeluaran untuk keamanan dalam menghadapi pemberontakan daerah, seperti PRRI/Permesta.

6. Pemberontakan Daerah

  • Pada masa Demokrasi Liberal, terjadi pemberontakan di beberapa daerah seperti PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi. Pemberontakan ini didorong oleh ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan ekonomi pusat yang dinilai tidak adil.
  • Pemberontakan tersebut memperparah keadaan ekonomi karena pemerintah pusat harus mengalokasikan dana besar untuk operasi militer dan meredakan konflik.

7. Nasionalisasi Perusahaan Asing

  • Salah satu langkah ekonomi yang diambil adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pasca-konflik Irian Barat. Namun, nasionalisasi ini tidak memberikan dampak positif yang signifikan karena masalah manajemen, kurangnya tenaga ahli, dan infrastruktur yang buruk.

8. Munculnya Sentimen Anti-Asing

  • Banyak pihak di Indonesia merasa bahwa ekonomi negara masih dikendalikan oleh asing, terutama Belanda. Sentimen anti-asing ini semakin kuat dan mendorong langkah nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda.
  • Kebijakan ini, meskipun populer secara politik, menciptakan ketidakpastian investasi dan menurunkan kepercayaan asing terhadap perekonomian Indonesia.


pemilu tahun 1955



SISTEM PEMILU

Sistem Pemilu tahun 1955 adalah kombinasi antara sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang dengan ciri-ciri sebagai berikut. Sistem Distrik, pertama wilayah negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang didasari pada jumlah penduduk, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan sama dengan jumlah distrik, ketiga tiap distrik pemilihan , meilih seorang anggota badan perwakilan rakyat , keempat pemilih, memilih orang atau calon yang diajukan organisasi peserta Pemilu, Kelima penetapan terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem Perwakilan Berimbang, pertama wilayah negara ditetapkan sebagai satu daerah pemilihan, namun dalam pelaksanannya dapat dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang bersifat administratif, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkanberdasarkan imbangan jumlah penduduk, misalnya tiap 4000.000 penduduk mempunyai seorang wakil, ketiga tiap daerah pemilihan memilih lebih dari sorang wakil, keempat pemilih, memilih Organisasi Peserta Pemilu (OPP), namun demikian OPP mengajukan calon-calonnya yang disusun dalam satu daftar, kelima penetapan jumlah kursi yang akan diperoleh tiap organisasi peserta Pemilu seimbang dengan besarnya dukungan pemilih, yaitu jumlah suar yang diperoleh, keenam Calon terpilih diambilkan dari nama-nama yang terdapat dalam daftar calon, berdasarkan nomor urut calon, jika menganut sistim daftar mengikat dan perolehan suara masing-masing calon, jika dianut sistim daftar bebas. Sistim Kombinasi, merupakan penggabungan antara sistim distrik dan sistim perwakilan berimbang, misalnya jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk, kemudian sebagian besar dari anggota ditetapkan sebagai wakil distrik melalui pemilihan dengan sistim distrik dan sebagian kecil ditetapkan mewakili OPP, yang perhitungannya menggunakan OPP yang tidak memperolah wakil pada pemilihan dengan sistim distrik.

DASAR HUKUM :

  1. UU Nomor 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota DPR sebagaimana diubah dengan UU Nomor 18/1953.
  2. PP Nomor 9/1954 tentang Menyelenggarakan undang-undang Pemilu.
  3. PP Nomor 47/1954 tentang Cara Pencalonan Keanggotaan DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernyataan Non Aktif/Pemberhantian berdasarkan penerimaan keanggotaan pencalonan keanggotaan tersebut, maupun larangan mengadakan Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan Perang.

Berikut beberapa poin penting tentang Pemilu 1955:

1. Tanggal Pemilu:

  • Pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksanakan pada 29 September 1955.
  • Pemilu untuk memilih anggota Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955.

2. Peserta Pemilu

Pemilu 1955 diikuti oleh 172 partai politik dan organisasi massa. Namun, hanya beberapa partai besar yang meraih suara mayoritas, yaitu:

  • Partai Nasional Indonesia (PNI),
  • Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia),
  • Nahdlatul Ulama (NU),
  • Partai Komunis Indonesia (PKI).
3. Hasil Pemilu:

PNI meraih suara terbanyak dengan sekitar 22,3% suara, diikuti oleh Masyumi dengan 20,9%, NU dengan 18,4%, dan PKI dengan 16,4%.
Pemilu ini menghasilkan 257 anggota DPR dan 514 anggota Konstituante.

4.Makna dan Implikasi: 

Pemilu 1955 dianggap sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia karena berlangsung dengan relatif aman dan lancar. Hasil dari pemilu ini, terutama pemilihan Konstituante, diharapkan dapat menyusun konstitusi baru yang menggantikan UUD 1945 sementara. Namun, Konstituante gagal mencapai kesepakatan, yang akhirnya menyebabkan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945.

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)




Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia (1950-1959), yang juga dikenal sebagai era Demokrasi Liberal, adalah periode di mana Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, di mana parlemen memegang kekuasaan yang dominan, dan kabinet yang memerintah bertanggung jawab kepada parlemen. Masa ini dimulai setelah berlakunya Konstitusi Sementara 1950, dan berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945 serta memulai era Demokrasi Terpimpin.
Beberapa kabinet yang pernah memerintah dalam kurun waktu tahun 1950-1959 tersebut adalah: 
  • Kabinet Natsir
Kabinet ini mempunyai program utama mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, namun masih gagal. Oleh karena dianggap gagal, muncul mosi tidak percaya dari Parlemen, hingga kabinet ini jatuh dan mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.
  • Kabinet Sukiman
Setelah Kabinet Natsir jatuh, Soekarno menunjuk Sukiman Wirjosanjojo untuk membentuk kabinet baru, untuk kemudian kabinet ini sering disebut Kabinet Sukiman. Kabinet ini juga pada akhirnya jatuh karena Kabinet ini dianggap menodai kebijakan politk luar negeri bebas aktif dengan cara menerima bantuan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat yang disebut MSA (Mutual Security Act). Akhinrya, kabinet ini jatuh dan Sukiman mengembalikan mandat kepada Soekarno.
  • Kabinet Wilopo
Setelah kabinet Sukiman jatuh, Soekarno menunjuk Wilopo membentuk kabinet baru. Kabinet ini menghadapi situasi ekonomi negara yang sangat sulit. Juga banyaknya pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi. Namun, yang paling pelik adalah soal peristiwa Tanjung Morawa. Baca juga: Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan Di mana aparat keamanan dengan kekerasan mengusir petani yang menggarap tanah perusahaan DPV di Tanjung MOrawa, 5 orang petani tewas. Akibat peristiwa ini, muncul mosi tidak percaya dan kabinetnya jatuh.
  • Kabinet Ali Satroamijoyo I 
Akhirnya Soekarno menunjuk Ali Sastroamijoyo membentuk kabinet baru. Pada masa ini terjadi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Namun, pada masa ini pula Indonesia berhasil menyelenggarakan event internasional yaitu Konferensi Asia Afrika di Bandung. Pada masa pemerintahan Kabinet ini juga dikenal kebijakan ekonomi Ali-Baba yang berarti pengusaha non pribumi (baba) membantu pengusaha pribumi (Ali) supaya mampu bresaing, dengan cara diberikan pelatihan2 menjadi staf. Intinya pemerintah berharap pengusaha pribumi bekerjasam dengan pengusaha non pribumi. Sebagai imbalannya pemerintah memberi lisensi dan bantuan kredit kepada pengusaha non pribumi. Baca juga: Mutual Security Act, Penyebab Kejatuhan Kabinet Sukiman Tetapi pada akhirnya program ini gagal karena pengusaha pribumi hanya dijadikan alat untuk mendapat bantuan kredit dari pemerintah. Kabinet ini jatuh karena persoalan pergantian kepemimpinan di lingkungan TNI AD, dan juga karena dianggap tidak mampu mengelola ekonomi Indonesia. Akhirnya Ali mengembalikan mandate kepada Soekarno.
  • Kabinet Ali II 
Ali Sastroamijoyo, yang juga Ketua PNI, pemenang Pemilu 1955, kembali dipercaya Bung Karno membentuk Kabinet baru, Kabinet ini jatuh karena adalah karena terjadinya perpecahan antara Partai Masyumi dan PNI. Masyumi sebagai parpol pemenang suara terbanyak kedua setelah PNI mendapat posisi 5 menteri dalam kabinet Ali II. Karena kabinet ini adalah koalisi antara PNI, Masyumi dan NU, namun pada perkembangannya terjadi pecah kongsi antara PNI dan Masyumi yang membuat Masyumi menarik dukuangannya. Selain itu juga banyak pemberontakan dan tuntutan dari daerah terhadap pemerintah pusat. Akhirnya Ali menyerahkan mandat kepada Presiden.
  • Kabinet Juanda
Ini merupakan kabinet terakhir pada masa Demokrasi Liberal.  Kabinet ini disebut juga kabinet ZAKEN (Ahli) karena mayoritas diisi menteri-menteri dari kalangan professional bukan anggota partai.   Kabinet ini mempunyai tugas utama menyelesaikan persoalan pemberontakan di daerah. Hingga dilakukan MUNAS (Musyawarah pembangunan nasional) untuk mendengarkan usulan atau aspirasi dari daerah. Namun upaya ini gagal, bahkan pada masa kabinet ini juga terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Peristiwa in terjadi pada saat Soekarno sedang menjemput anak2nya di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Namun, pada saat kabinet ini pulalah Indonesia berhasil memberikan sumbangan kepada dunia internasional tentang hukum perbatasan laut antarnegara yang dikenal dengan DEKLARASI JUANDA. Yaitu, cara mengukur wilayah laut suatu negara dari daratannya. 

Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia adalah periode yang penuh dengan dinamika politik dan tantangan ekonomi. Ketidakstabilan politik akibat seringnya pergantian kabinet, persaingan ideologis yang tajam, dan ketidakmampuan untuk membangun ekonomi yang kuat membuat periode ini relatif kurang sukses dalam hal stabilitas nasional. Berakhirnya masa ini dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai peralihan menuju otoritarianisme di bawah Demokrasi Terpimpin.

Perkembangan Politik pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)


        Sistem pemerintahan Pada masa Demokrasi Parlementer undang-undang yang digunakan sebagai landasan hukum negara adalah UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya, Kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Dalam sistem ini parlemen sangat berkuasa.


        Jika kabinet dipandang tidak mampu menjalankan tugas, maka parlemen segera membubarkannya Sistem parlementer disebut juga sebagai sistem Demokrasi Liberal. Sistem kabinet yang digunakan pada masa Demokrasi Parlementer adalah Zaken Kabinet. Zaken kabinet adalah suatu kabinet yang para menterinya dipilih atau berasal dari tokoh-tokoh yang ahli di bidangnya, tanpa mempertimbang- kan latar belakang partainya. Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut menyebabkan seringnya pergantian kabinet.

Perkembangan politik pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan pemerintahan, persaingan ideologi yang tajam, dan munculnya berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Berikut adalah beberapa poin utama perkembangan politik pada periode tersebut:

1. Sistem Pemerintahan Parlementer

  • Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949 dan penerapan Konstitusi Sementara 1950, Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, presiden berperan sebagai kepala negara, sementara kekuasaan eksekutif dijalankan oleh perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  • Sukarno tetap menjabat sebagai presiden, tetapi kekuasaannya lebih bersifat simbolis dan terbatas dibandingkan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

2. Kabinet yang Sering Berganti

  • Ketidakstabilan politik adalah ciri utama dari masa Demokrasi Parlementer. Karena tidak ada partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen, pemerintahan dibentuk oleh koalisi partai. Namun, koalisi ini sering kali rapuh dan mudah runtuh ketika terjadi perpecahan internal.
  • Sepanjang periode ini, terjadi tujuh kali pergantian kabinet:
    1. Kabinet Natsir (1950-1951): Kabinet ini gagal membangun stabilitas politik, sehingga jatuh setelah tidak mendapat dukungan dari parlemen.
    2. Kabinet Sukiman (1951-1952): Kabinet ini jatuh akibat kontroversi atas Perjanjian Mutual Security Act (MSA) dengan Amerika Serikat.
    3. Kabinet Wilopo (1952-1953): Terlibat dalam insiden 17 Oktober 1952, di mana militer menuntut pembubaran parlemen. Kabinet ini jatuh akibat kerusuhan agraria di Tanjung Morawa.
    4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955): Kabinet ini berhasil mengadakan Pemilu 1955, namun jatuh karena masalah dalam koalisi.
    5. Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956): Mengadakan pemilu untuk memilih anggota Konstituante, tetapi kabinet ini tidak bertahan lama.
    6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957): Kabinet ini menghadapi krisis ekonomi dan pemberontakan daerah.
    7. Kabinet Djuanda (1957-1959): Kabinet terakhir pada masa Demokrasi Parlementer yang berusaha mempersatukan bangsa dengan pemerintahan yang dikenal sebagai "Kabinet Karya".

3. Pemilu 1955

  • Salah satu pencapaian demokratis terbesar pada masa ini adalah Pemilu 1955, yang merupakan pemilu pertama yang diadakan di Indonesia. Pemilu ini berlangsung dalam dua tahap:
    • 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    • 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi baru.
  • Pemilu 1955 dianggap sebagai salah satu pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia, dengan partisipasi yang luas dari masyarakat dan diikuti oleh berbagai partai politik.
  • Empat partai besar yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu adalah:
    1. Partai Nasional Indonesia (PNI): Berbasis nasionalis, dipimpin oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan Sukarno.
    2. Masyumi: Berbasis Islam modernis, mendukung penerapan nilai-nilai Islam dalam politik.
    3. Nahdlatul Ulama (NU): Berbasis Islam tradisionalis, mengutamakan kepentingan ulama dan pesantren.
    4. Partai Komunis Indonesia (PKI): Berbasis ideologi komunis, yang semakin kuat pengaruhnya setelah pemilu ini.

4. Persaingan Ideologi Politik

  • Periode ini diwarnai oleh persaingan ideologi antara berbagai partai politik. Tiga kekuatan ideologi utama yang saling bersaing adalah:
    1. Nasionalisme: Diwakili oleh PNI, yang mendukung integrasi nasional dan negara berdasarkan Pancasila.
    2. Islamisme: Diwakili oleh Masyumi dan NU, yang mendukung peran agama Islam dalam pemerintahan. Masyumi mendukung negara Islam, sementara NU lebih fleksibel.
    3. Komunisme: Diwakili oleh PKI, yang mendukung perjuangan kelas dan pemerintahan yang lebih dekat dengan blok komunis (Uni Soviet dan Tiongkok).
  • Persaingan ideologi ini mempengaruhi jalannya pemerintahan dan menciptakan ketegangan politik yang sering berakhir dengan jatuhnya kabinet.

5. Peran Militer dalam Politik

  • Pada periode ini, militer mulai memiliki peran yang signifikan dalam politik. Insiden 17 Oktober 1952 adalah salah satu peristiwa penting, ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuntut pembubaran parlemen yang dianggap terlalu campur tangan dalam urusan militer. Meskipun tuntutan ini tidak dipenuhi, insiden ini menandai awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.
  • Militer juga memainkan peran dalam meredakan pemberontakan daerah dan menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, yang berakar pada ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat.

6. Pemberontakan Daerah

  • Ketidakpuasan beberapa daerah terhadap kebijakan pusat, terutama terkait distribusi kekayaan dan otonomi, memicu beberapa pemberontakan di daerah, seperti:
    • Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan mengusung ideologi negara Islam.
    • PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi, yang menuntut otonomi lebih besar dan kebijakan ekonomi yang lebih adil.
  • Pemberontakan ini menyulitkan pemerintah pusat dan memperburuk kondisi ekonomi serta politik.

7. Peran Konstituante

  • Setelah Pemilu 1955, anggota Konstituante terpilih bertugas untuk menyusun konstitusi baru bagi Indonesia. Namun, proses penyusunan konstitusi ini mengalami kebuntuan, terutama karena perdebatan antara pihak yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara dan pihak yang mendukung negara Islam.
  • Ketidakmampuan Konstituante untuk mencapai kesepakatan membuat situasi politik semakin tidak stabil.

8. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

  • Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh kegagalan Konstituante dan seringnya pergantian kabinet membuat Presiden Sukarno memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
  • Melalui dekrit ini, Sukarno:
    • Membubarkan Konstituante.
    • Memberlakukan kembali UUD 1945.
    • Memulai era Demokrasi Terpimpin, yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden dan mengurangi peran parlemen.
  • Dekrit ini menandai berakhirnya masa Demokrasi Parlementer dan dimulainya sistem pemerintahan yang lebih otoriter di bawah kepemimpinan Sukarno.