- Gunting Syafruddin
- Sistem ekonomi Gerakan Benteng Nasionalisasi
- perusahaan asing
- Finansial ekonomi (Finek)
- Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT).
Pada masa Demokrasi Parlementer Perkembangan ekonomi negara mengalami banyak tantangan. Sistem pemerintahan yang tidak stabil, seringnya pergantian kabinet, serta konflik politik internal menyebabkan perekonomian sulit berkembang secara signifikan.
1. Ketidakstabilan Politik
- Pada masa Demokrasi Liberal, terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali dalam rentang sembilan tahun. Kabinet yang sering berganti-ganti menyebabkan kebijakan ekonomi yang direncanakan tidak dapat dijalankan secara konsisten.
- Setiap kabinet memiliki program yang berbeda-beda, sehingga kebijakan ekonomi sering kali terputus atau tidak berkelanjutan.
2. Program Kabinet yang Berbeda-Beda
- Kabinet Natsir (1950-1951) mencoba membangun ekonomi dengan memperkuat sektor swasta, terutama melalui perdagangan dan industri, namun kebijakan ini terhambat oleh masalah-masalah politik.
- Kabinet Sukiman (1951-1952) berfokus pada hubungan ekonomi luar negeri, tetapi dihadapkan pada situasi politik yang tidak kondusif.
- Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) memperkenalkan Rencana Pembangunan Lima Tahun, tetapi hanya berjalan sebagian kecil karena masa jabatannya yang singkat.
3. Rencana Pembangunan Lima Tahun
- Pada tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II memperkenalkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960). Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan sektor pertanian, industri, dan infrastruktur. Namun, implementasi rencana tersebut terganggu oleh ketidakstabilan politik dan masalah anggaran.
- Sementara itu, nasionalisasi beberapa perusahaan Belanda mulai dijalankan sebagai bagian dari kebijakan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada kekuatan asing.
4. Ketergantungan pada Ekspor Komoditas Primer
- Ekonomi Indonesia pada masa itu masih bergantung pada ekspor komoditas primer seperti karet, minyak bumi, timah, dan kopi. Penurunan harga komoditas di pasar dunia, terutama karet pada awal 1950-an, menyebabkan pendapatan negara menurun drastis.
- Pemerintah kesulitan untuk mendiversifikasi ekonomi karena keterbatasan teknologi, sumber daya manusia, dan modal.
5. Inflasi dan Defisit Anggaran
- Ketidakstabilan ekonomi diperparah oleh inflasi yang tinggi, terutama akibat peningkatan pengeluaran negara yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup. Banyak proyek pembangunan yang terhenti karena kekurangan dana.
- Defisit anggaran semakin membesar karena biaya operasional negara yang tinggi serta pengeluaran untuk keamanan dalam menghadapi pemberontakan daerah, seperti PRRI/Permesta.
6. Pemberontakan Daerah
- Pada masa Demokrasi Liberal, terjadi pemberontakan di beberapa daerah seperti PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi. Pemberontakan ini didorong oleh ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan ekonomi pusat yang dinilai tidak adil.
- Pemberontakan tersebut memperparah keadaan ekonomi karena pemerintah pusat harus mengalokasikan dana besar untuk operasi militer dan meredakan konflik.
7. Nasionalisasi Perusahaan Asing
- Salah satu langkah ekonomi yang diambil adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pasca-konflik Irian Barat. Namun, nasionalisasi ini tidak memberikan dampak positif yang signifikan karena masalah manajemen, kurangnya tenaga ahli, dan infrastruktur yang buruk.
8. Munculnya Sentimen Anti-Asing
- Banyak pihak di Indonesia merasa bahwa ekonomi negara masih dikendalikan oleh asing, terutama Belanda. Sentimen anti-asing ini semakin kuat dan mendorong langkah nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda.
- Kebijakan ini, meskipun populer secara politik, menciptakan ketidakpastian investasi dan menurunkan kepercayaan asing terhadap perekonomian Indonesia.