Sistem pemerintahan Pada masa Demokrasi Parlementer undang-undang yang digunakan sebagai landasan hukum negara adalah UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya, Kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Dalam sistem ini parlemen sangat berkuasa.
Jika kabinet dipandang tidak mampu menjalankan tugas, maka parlemen segera membubarkannya Sistem parlementer disebut juga sebagai sistem Demokrasi Liberal. Sistem kabinet yang digunakan pada masa Demokrasi Parlementer adalah Zaken Kabinet. Zaken kabinet adalah suatu kabinet yang para menterinya dipilih atau berasal dari tokoh-tokoh yang ahli di bidangnya, tanpa mempertimbang- kan latar belakang partainya. Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut menyebabkan seringnya pergantian kabinet.
Perkembangan politik pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan pemerintahan, persaingan ideologi yang tajam, dan munculnya berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Berikut adalah beberapa poin utama perkembangan politik pada periode tersebut:
1. Sistem Pemerintahan Parlementer
- Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949 dan penerapan Konstitusi Sementara 1950, Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, presiden berperan sebagai kepala negara, sementara kekuasaan eksekutif dijalankan oleh perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Sukarno tetap menjabat sebagai presiden, tetapi kekuasaannya lebih bersifat simbolis dan terbatas dibandingkan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
2. Kabinet yang Sering Berganti
- Ketidakstabilan politik adalah ciri utama dari masa Demokrasi Parlementer. Karena tidak ada partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen, pemerintahan dibentuk oleh koalisi partai. Namun, koalisi ini sering kali rapuh dan mudah runtuh ketika terjadi perpecahan internal.
- Sepanjang periode ini, terjadi tujuh kali pergantian kabinet:
- Kabinet Natsir (1950-1951): Kabinet ini gagal membangun stabilitas politik, sehingga jatuh setelah tidak mendapat dukungan dari parlemen.
- Kabinet Sukiman (1951-1952): Kabinet ini jatuh akibat kontroversi atas Perjanjian Mutual Security Act (MSA) dengan Amerika Serikat.
- Kabinet Wilopo (1952-1953): Terlibat dalam insiden 17 Oktober 1952, di mana militer menuntut pembubaran parlemen. Kabinet ini jatuh akibat kerusuhan agraria di Tanjung Morawa.
- Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955): Kabinet ini berhasil mengadakan Pemilu 1955, namun jatuh karena masalah dalam koalisi.
- Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956): Mengadakan pemilu untuk memilih anggota Konstituante, tetapi kabinet ini tidak bertahan lama.
- Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957): Kabinet ini menghadapi krisis ekonomi dan pemberontakan daerah.
- Kabinet Djuanda (1957-1959): Kabinet terakhir pada masa Demokrasi Parlementer yang berusaha mempersatukan bangsa dengan pemerintahan yang dikenal sebagai "Kabinet Karya".
3. Pemilu 1955
- Salah satu pencapaian demokratis terbesar pada masa ini adalah Pemilu 1955, yang merupakan pemilu pertama yang diadakan di Indonesia. Pemilu ini berlangsung dalam dua tahap:
- 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi baru.
- Pemilu 1955 dianggap sebagai salah satu pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia, dengan partisipasi yang luas dari masyarakat dan diikuti oleh berbagai partai politik.
- Empat partai besar yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu adalah:
- Partai Nasional Indonesia (PNI): Berbasis nasionalis, dipimpin oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan Sukarno.
- Masyumi: Berbasis Islam modernis, mendukung penerapan nilai-nilai Islam dalam politik.
- Nahdlatul Ulama (NU): Berbasis Islam tradisionalis, mengutamakan kepentingan ulama dan pesantren.
- Partai Komunis Indonesia (PKI): Berbasis ideologi komunis, yang semakin kuat pengaruhnya setelah pemilu ini.
4. Persaingan Ideologi Politik
- Periode ini diwarnai oleh persaingan ideologi antara berbagai partai politik. Tiga kekuatan ideologi utama yang saling bersaing adalah:
- Nasionalisme: Diwakili oleh PNI, yang mendukung integrasi nasional dan negara berdasarkan Pancasila.
- Islamisme: Diwakili oleh Masyumi dan NU, yang mendukung peran agama Islam dalam pemerintahan. Masyumi mendukung negara Islam, sementara NU lebih fleksibel.
- Komunisme: Diwakili oleh PKI, yang mendukung perjuangan kelas dan pemerintahan yang lebih dekat dengan blok komunis (Uni Soviet dan Tiongkok).
- Persaingan ideologi ini mempengaruhi jalannya pemerintahan dan menciptakan ketegangan politik yang sering berakhir dengan jatuhnya kabinet.
5. Peran Militer dalam Politik
- Pada periode ini, militer mulai memiliki peran yang signifikan dalam politik. Insiden 17 Oktober 1952 adalah salah satu peristiwa penting, ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuntut pembubaran parlemen yang dianggap terlalu campur tangan dalam urusan militer. Meskipun tuntutan ini tidak dipenuhi, insiden ini menandai awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.
- Militer juga memainkan peran dalam meredakan pemberontakan daerah dan menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, yang berakar pada ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat.
6. Pemberontakan Daerah
- Ketidakpuasan beberapa daerah terhadap kebijakan pusat, terutama terkait distribusi kekayaan dan otonomi, memicu beberapa pemberontakan di daerah, seperti:
- Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan mengusung ideologi negara Islam.
- PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi, yang menuntut otonomi lebih besar dan kebijakan ekonomi yang lebih adil.
- Pemberontakan ini menyulitkan pemerintah pusat dan memperburuk kondisi ekonomi serta politik.
7. Peran Konstituante
- Setelah Pemilu 1955, anggota Konstituante terpilih bertugas untuk menyusun konstitusi baru bagi Indonesia. Namun, proses penyusunan konstitusi ini mengalami kebuntuan, terutama karena perdebatan antara pihak yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara dan pihak yang mendukung negara Islam.
- Ketidakmampuan Konstituante untuk mencapai kesepakatan membuat situasi politik semakin tidak stabil.
8. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
- Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh kegagalan Konstituante dan seringnya pergantian kabinet membuat Presiden Sukarno memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
- Melalui dekrit ini, Sukarno:
- Membubarkan Konstituante.
- Memberlakukan kembali UUD 1945.
- Memulai era Demokrasi Terpimpin, yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden dan mengurangi peran parlemen.
- Dekrit ini menandai berakhirnya masa Demokrasi Parlementer dan dimulainya sistem pemerintahan yang lebih otoriter di bawah kepemimpinan Sukarno.